23 Januari, 2009

Ku Ingin Anak Lelakiku Menirumu

Ku Ingin Anak Lelakiku Menirumu
Oleh : Neno Warisman - 'Izinkan Aku Bertutur'

Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu
kubilang pada ayahnya: "Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!"
Suamiku menjawab: "Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau
anak lelaki ingin seperti aku." Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja
seperti biasa.
Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku
mengusulkan perayaannya dengan mengkhatam kan Al Quran di rumah Lalu kubilang pada suamiku: "Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah."
Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata: "Oh ya. Ide bagus itu."
Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya.
Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa.
Apppaa. Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia
Ahmad. Kami berdua sangat bahagia dengan kehadirannya.
Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya.
Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya.
Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan keluarganya.
Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.
Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga.
Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak
mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya. Entah apa
yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin menganggap Ahmad
sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau
lantaran banyak tamu dan ia kelelahan.
Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah,
tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.
Sejak hari itu, Ahamad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di
rumah. Ia tak lagi suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah.
Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku.
Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh urusan
seremeh itu, katanya.
Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai
S1. Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu
dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil
tertawa-tawa lucu: "Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti
kulitmu!"
Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan
merasa malu. "Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin
seperti aku!" Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang
pedih di
hatiku. Ada yang mencemaskan aku. Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu.
Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu. Ahmad kecil
sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah
sambil berteriak menghentak, "Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers
anak ini!" Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.
Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad,
papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi.
Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka
seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora
di dada ini.Pecahlah tangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya.
Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya:
"Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat?
Kau tolak ia merangkak di punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki,
kau bilang kau sibuk sekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak
suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!"
Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi
wassalaam.
Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi. Engkau membopong
cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain berkejaran dengan mereka
Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan
engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari
gendonganmu, "Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa
menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?"
Aku memandang suamiku yang terpaku. Aku memandang anakku
yang tegak diam bagai karang tajam. Kupandangi keduanya, berlinangan air
mata. Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu?
Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia
mendekat kepada Ahmad. Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya, yang
berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang didamba.
Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di
hadapan mereka berdua, "Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan
dijemput ajal yang tak mampu mewariskan apa-apa: kecuali Cinta.
Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan
keturunan demi keturunan. Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah
tangga kita! Juga di permukaan dunia.
Tak akan pernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa
kasih dan sayang, ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya
pelajaran untuk menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa
perasaan.
Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka. Dua laki-laki
dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya. Memang tak mudah untuk
berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku.
Aku bilang: "Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang."
Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong
bersama, bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari
depan si bayi Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh
bahagia, syukur pada-Mu Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika
semua jalan tampak buntu. Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.
Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di
tangan-Mu. Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin
sekali berkata: Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk
mengajak mereka semua menirumu!
Amin, alhamdulillah

1 komentar:

  1. Kok peteng to, koyo petenge tulisanmu. ayo ki kok g ono postingan meneh? payah....
    Jare seneng ngeblog....

    BalasHapus